Postingan Populer

Halaman

kontak

Rabu, 23 Mei 2018

Syarat, Rukun Dan Pencatatan Perkawinan

                                                   PEMINANGAN, SYARAT, RUKUN DAN
PENCATATAN PERKAWINAN

    PENDAHULUAN
Hukum pekawinan nasional Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 1              Tahun 1974, Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 dan khusus untuk masyarakat       Islam Indonesia, hukum perkawinan itu dijabarkan dan dijelaskan oleh Kompilasi                   Hukum Islam (KHI). Dalam uraian singkat ini dikemukakan beberapa hal yang penting          tentang hukum perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan tersebut.
Pada pokoknya, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI bidang Hukum                     Perkawinan adalah penegasan ulang tentang tentang hal-hal yang telah diatur dalam UU       No. 1 Tahun 1974 diikuti dengan penjabaran lanjut terhadap ketentuan-ketentuan UU itu       dan PP No. 9 Tahun 1975.
Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan dan        dijabarkan yang akan dijadikan ketentuan yang bersifat khusus sebagai aturan Hukum          Islam yang akan diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam. Dengan kata lain buku I    KHI bidang perkawinan merupakan aturan dan hukum khusus yang akan diberlakukan          dan diterapkan secara khusus bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
Kemudian kami disini akan lebih fokus dalam masalah peminangan, syarat, rukun          serta pencatatan perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang               perkawinan maupun KHI (Kompilasi Hukum Islam).

PEMBAHASAN
             A. PEMINANGAN
              1. Pengertian
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 Bab 1 huruf a bahwa pengertian                   peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara                 seorang pria dan seorang wanita denagan cara-cara yang baik (ma’ruf). Peminangan               langsung dapat dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tapi             dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (pasal 11 KHI).
Peminagan juga dapat dilakukan secara terang terangan (shorih) atau dengan                    sindiran (kinayah).

             2. Syarat peminangan dan halanganya
Pasal 12 ayat (1) KHI menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Ini dapat difahami sebagai syarat peminangan. Selain itu wanita yang dipinang haruslah tidak terdapat halangan sebagai berikut, KHI pasal12 ayat (2),(3),dan(4).
   2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
     3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dan pihak wanita.
    4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Maka dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa wanita yang statusnya kebalikan dari yang dijelaskan tersebut diatas, maka tidak terhalang untuk dipinang.
3. Akibat hukum peminangan
Pada prinsipnya apabila peminangan telah dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang wanita, belumlah berakibat hukum. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam KHI pasal 13 ayat:
1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
Karena peminangan pada prinsipnya belum berakibat hukum, maka diantara mereka yang telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (bersepi-sepi berdua) sampai dengan mereka melangsungkan akad perkawinan.
B. RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Rukun dan syarat adalah hal penting dan bila ditinggalkan akan menyebabkan sesuatu itu tidak syah, demikian halnya dalam perkawinan.
Perkawinan yang syarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perlu diatur dengan rukun dan syarat tertentu, agar tujuan disyari’atkanya perkawinan tercapai dan perkawinan yang dilangsungkan dapat dikatakan syah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam KHI pasal 14, bahwa rukun-rukun dalam perkawinan adalah sebagai berikut:
a) Calon suami
b) Calon istri
c) Wali nikah
d) Dua orang saksi
e) Ijab dan qabul
Dibawah ini adalah beberapa hal yang berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat perkawinan:
1. Persetujuan calon mempelai
Hukum islam di Indonesia menentukan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan dari kedua calon mempelai . Sebagaimana tercantum dalam pasal 6 ayat (1) jo. Ps. 16 ayat (1) KHI. Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan istri, memasuki gerbang perkawinan dan dalam berumah tangga benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas, hak, dan kewajibanya secara proporsional . dan bahwa persetujuan calon mempelai ini merupakan hasil dari peminangan atau khitbah.
Bentuk persetuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tullisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas. Hal ini Sebagaimana tercantum dalam KHI pasal 16 ayat (2).
Kemudian sebagai pengukuhan adanya persetujuan antara calon mempelai, pegawai pencatat menanyakan kepada mereka sebelum berlangsungnya perkawinan,. Sebagaimana diatur dalam pasal 17 Kompilasi Hukum Islam.
2. Umur calon mempelai
Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun “. Ketentuan batas umur ini seperti disebutkan dalam KHI pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan.
Akan tetapi apabila karena suatu hal perkawinan dari mereka yang usianya bibawah 21 tahun atau 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita undang-undang tetap memberi jalan keluar kepada calon mempelai dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 7 ayat (2).
Namun dalam hal perizinan, undang-undang perkawinan tidak konsisten. Disatu sisi, pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua, disisi lain pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Bedanya jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan adalah izin dari orang tua, sedangkan jika kurang dari 19 tahun (pria) dan 16 tahun (wanita), yang diperlukan adalah izin pengadilan. Hal ini dikuatkan pasal 15 ayat (2) Komppilasi Hukum Islam.
3. Wali nikah
Karena keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi beberapa syarat. Dalam pasal 20 KHI ayat (1) dirumuskan sebagai berikut: “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh”.
Wali nikah ada dua macam yaitu:
1. Wali Nasab
Adalah wali yang hak perwalianya didasarkan karena adanya hubungan darah. Baik orang tua kandung, dan bisa juga wali aqrob dan ab’ad.
2. Wali Hakim
Adalah wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai perempuan menolak (‘adhal) atau tidak ada, atau karena sebab lain.
Kompilasi hukum islam merinci tentang wali nasab dan wali hakim dalam pasal 21, 22 dan 23.
4. Kehadiran saksi dalam akad nikah
Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, karena itu setiap perkawinan harus disaksikan oleh 2 orang saksi. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 24 KHI dan pasal 26 Undang-undang perkawinan ayat (1).
Kehadiran saksi sebagai rukun nikah, memerlukan persyaratan-persyaratan agar nilai persaksianya berguna bagi sahnya akad nikah. Syarat-syarat tersebut tertuang dalam pasal 25 KHI yang menyatakan bahwa: “yang dapat ditunjuk sebagai saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”
5. Pelaksanaan akad nikah
Menurut ketentuan pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, menyatakan bahwa: “perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat nikah”
Kompilasi Hukum Islam pasal 27 menjelaskan tentang persyaratan ijab dan qabul sebagaimana berikut: “Ijab qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu”.
Selanjutnya KHI mengatur persoalan wakil wali dalam akad nikah tersebut dengan Pasal 28 sebagai berikut: “Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain”.
Pasal terakhir yang mengatur persoalan rukun dan syarat perkawinan adalah Pasal 29 KHI. Dalam pasal ini, ia mengatur tentang calon mempelai pria dalam akad tersebut sebagaimana berikut:
1) Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
2) Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
C. PENCATATAN PERKAWINAN
Untuk kondisi saat ini, pencatatan perkawinan dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen, karena menyangkut banyak kepentingan. Perkawinan bukan hanya ikatan antara mempelai laki-laki dan perempuan, akan tetapi merupakan penyatuan dua keluarga besar yang masing-masingnya punya hak dan kepentingan dari perkawinan tersebut.
1. Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif UU Nomor 1 tahun 1974:
Pasal 2 ayat 2 UU No. 1/1974
1) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Pencatatan Perkawinan Dalam Perspektif KHI, terdapat pada Pasal 5 ayat 1-2 sebagai berikut:
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Kemudian juga dijelaskan pada pasal 6 ayat 1-2 yang berbunyi sebagai berikut:
1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”.
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum
Aturan-aturan di dalam KHI ini tidak hanya berbicara pada tataran administrative, namun lebih dari itu, sebagaimana tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam.
3. Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 3:
1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
KESIMPULAN
1. peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita denagan cara-cara yang baik (ma’ruf). (KHI Pasal 1 Bab 1 huruf a)
2. Peminangan langsung dapat dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (KHI pasal 11).
3. Peminagan juga dapat dilakukan secara terang terangan (shorih) atau dengan sindiran (kinayah).
4. Tentang syarat dan penghalang dalam peminangan diatur dalam KHI pasal 12
5. Pada prinsipnya apabila peminangan telah dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang wanita, belumlah berakibat hukum. (KHI pasal 13 ayat: 1 dan 2)
6. Bahwa rukun-rukun dalam perkawinan (KHI pasal 14) adalah sebagai berikut:
a) Calon suami
b) Calon istri
c) Wali nikah
d) Dua orang saksi, dan
e) Ijab dan qabul
7. Penjelasan berkenaan dengan rukun dan syarat perkawinan.
a) Calon Mempelai (KHI pasal 15 sampai pasal 18)
b) Wali nikah (KHI pasal 19 sampai pasal 23)
c) Saksi nikah (KHI pasal 24 sampai pasal 26)
d) Akad nikah (KHI pasal 27 sampai pasal 29)
8. Pencatatan pernikahan menjadi hal sangat urgen dikarenakan menjadi alat kontrol keabsahan perkawinan seseorang sehingga membawa maslahat bagi masyarakat. Sebagaimana diatur dalam Perundang-undangan di Indonesia, baik KHI pasal 5 dan 6, Pasal 2 ayat 2 UU No. 1/1974, serta PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 3.

0 komentar: