Postingan Populer

Halaman

kontak

Rabu, 23 Mei 2018

Fiqhi Mawaris

BAB II
PEMBAHASAN
A. AHLI WARIS
Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Di samping adanya hubungan kekerabatan dan dengan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:
1.      Ahli waris itu masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris
2.      Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan
3.       Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat

B. PERINCIAN AHLI WARIS
Adapun rincian ahli waris, sebagian besar telah dijelaskan Allah SWT. dalam al-Qur’an atau melalui penjelasan Nabi dalam Hadits serta yang dipahami melalui perluasan pengertian ahli waris yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut. Atas dasar ketentuan yang disebutkan di atas, maka keseluruhan  ahli waris yang berhak menerima warisan adalah sebagai berikut:
1.    Ahli waris dalam hubungan kerabat
a.              Anak laki-laki dan anak perempuan
Dasar kewarisan anak, baik laki-laki maupun perempuan, adalah firman Allah dalam surah al-Nisa’ ayat 11. Dalam ayat ini Allah mempergunakan kata al-walad. Kata al-walad itu baik secara arti kata atau dalam arti istilah hukum berlaku untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki dan anak perempuan dalam keadaan apa pun tidak terhijab oleh ahli waris mana pun.
b.             Cucu, baik laki-laki maupun perempuan
Kewarisan cucu secara spesifik tidak terdapat dalam al-Qur’an. Pengertian cucu dipahami dari perluasan kata walad atau awlad dalam al-Qur’an. Dalam pengertian Bahasa Arab, kata al-walad berlaku juga untuk keturunan garis lurus ke bawah. Hal ini dapat dipahami dari pemakaian kata “anak Adam” bagi semua manusia, sebagaimana terdapat dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Begitu pula pengertian Bani Israil yang berarti anak Israil yang terdapat banyak dalam ayat al-Qur’an yang digunakan untuk seluruh keturunan dan warga Israil. Dalam pengertian sempit kata walad memang berlaku untuk anak, namun dalam pengertian luas juga berlaku untuk keturunan garis lurus ke bawah. Dengan demikian kata “anak” ada yang digunakan untuk arti sebenarnya dan ada pula yang digunakan dalam pengertian metaforis. Untuk membedakan di antara keduanya, untuk pengertian sebenarnya itu biasa ditambahkan oleh orang Arab di belakangnya kata “shulb” yang artinya anak langsung.
Dalam hal ini yang disebut cucu (terutama dalam menempatkannya sebagai ahli waris dekat) adalah anak, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak laki-laki seterusnya ke bawah dan tidak anak dari anak perempuan.
c.              Ayah
Ayah dalam kedudukannya sebagai ahli waris dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surah al-Nisa’ ayat 11. Ayah sebagai ahli waris tidak dapat terhijab secara penuh oleh siapa pun.
d.             Ibu
Hak ibu dalam kewarisan dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surah al-Nisa’ ayat 11. Dan seperti ayah, ibu tidak dapat terhijab secara penuh oleh siapa pun.


e.              Kakek
Secara lahiriah kewarisan kakek tidak tersebut dalam al-Qur’an, kewarisannya hanya terdapat dalam hadits Nabi. Walaupun pengertian kakek secara tidak langsung disebut dalam al-Qur’an, namun secara tidak langsung sudah tercakup dalam pengertian ayah dalam pengertian Bahasa Arab yang disebut: abun berarti juga “kakek” dan seterusnya ke atas.
Kakek berhak mendapat warisan bila ayah sudah tidak ada lagi, karena hubungannya kepada pewaris adalah melalui ayah. Selama perantara itu masih hidup ia tidak berhak atas harta warisan. Kakek dapat mewaris bersama anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan.
f.              Nenek
Kewarisan nenek tidak terdapat dalam al-Qur’an, juga dalam hadits Nabi. Hak kewarisannya di samping dapat dipahami melalui perluasan pengertian ibu dalam al-Qur’an, juga didasarkan pada hadits Nabi melalui Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah, yang kemudian dilaksanakan oleh khalifah Abu Bakar dan dibenarkan oleh para sahabat lainnya.
Pengertian nenek dalam kewarisan berlaku untuk ibu dari ibu dan ibu dari ayah. Nenek dari pihak ayah berhak menerima warisan bila ayah dan ibu sudah meninggal lebih dahulu, karena hubungannya kepada pewaris adalah melalui ibu maupun ayah.
g.             Saudara
Saudara-saudara, baik kandung, seayah atau seibu, baik laki-laki maupun perempuan adalah ahli waris. Hak kewarisan saudara dijelaskan secara langsung dalam al-Qur’an surah al-Nisa’ ayat 12 dan 176. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa kewarisan saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan diatur dalam ayat 12 dan saudara kandung maupun seayah, baik laki-laki maupun perempuan diatur dalam ayat 176.
Saudara kandung menjadi ahli waris bila tidak ada anak atau cucu dan tidak ada pula ayah. Alasan tertutupnya saudara oleh anak adalah firman Allah surah al-Nisa’ ayat 12 dn 176 yang menyatakan bahwa saudara baru menjadi ahli waris bila pewaris tidak mempunyai anak atau cucu.
Tentang anak atau cucu dari jalur mana yang dapat menutup saudara-saudara, tidak terdapat kesamaan pendapat di kalangan ulama fikih. Semua ulama sepakat bahwa saudara tidak menerima warisan bila pewaris ada meninggalkan anak laki-laki. Perbedaan pendapat berlaku bila pewaris hanya meninggalkan anak perempuan.
h.             Anak Saudara
Anak saudara secara jelas tidak terdapat hak kewarisannya dalam al-Qur’an dan juga tidak dalam hadits Nabi. Adanya hak kewarisan anak saudara itu pada dasarnya adalah melalui perluasan pengertian dari saudara yang haknya dijelaskan dalam al-Qur’an, karena bila saudara sudah tidak ada, maka kedudukannya digantikan oleh anaknya dan anak saudara itu belum akan mendapatkan hak selama ayahnya yang menghubungkannya kepada pewaris masih hidup.
i.               Paman
Kewarisan paman tidak dijelaskan dalam al-Qur’an tidak pula di dalam hadits Nabi. Hak kewarisannya ditetapkan melalui ijtihad ulama dengan menghubungkannya kepada kakek. Kewarisan kakek ditetapkan dalam hadits Nabi. Sewaktu kakek sudah meninggal lebih dahulu maka anaknya yaitu paman menempati kedudukan kakek. Dengan begitu penempatan paman sebagai ahli waris adalah melalui perluasan dari pengertian kakek.


j.               Anak Paman
Kewarisan anak paman diperoleh dari perluasan pengertian paman. Dalam perluasan ini ulama Ahlu Sunnah berpedoman kepada hadits tersebut di atas yaitu memperluasnya kepada laki-laki dalam garis laki-laki. Dengan begitu yang disebut anak paman di sini adalah anak dari paman yang hubungannya hanya dengan ayah, itu pun yang kandung atau seayah dari ayah, sedangkan anak yang dimaksud hanyalah yang laki-laki. Anak bibi dalam segala bentuknya bukanlah ahli waris dalam pengertian ini.

2.     Ahli waris dalam hubungan perkawinan
Ahli waris yang disebabkan oleh hubungan perkawinan ialah suami atau istri. Suami menjadi ahli waris bagi istrinya dan sebaliknya istri adalah ahli waris bagi suaminya. Kedudukan suami atau istri sebagai ahli waris dijelaskan Allah dalam surah al-Nisa’ ayat 12.
Adanya hubungan perkawinan antara seseorang laki-laki dengan seseorang perempuan tidak menyebabkan hak kewarisan apa pun terhadap kerabat istri atau kerabat suami. Dalam hal ini anak tiri dari suami bukanlah ahli waris dari suami, demikian pula anak tiri dari istri bukanlah ahli waris dari istri. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat di rinci ahli waris berdasarkan jenis kelamin sebagai berikut:
a.              Ahli waris golongan laki-laki:
·      Anak.
·      Cucu.
·      Ayah.
·      Kakek.
·      Saudara kandung.
·      Saudara seayah.
·      Saudara seibu.
·      Anak laki-laki saudara kandung.
·      Anak laki-laki saudara seayah.
·      Paman kandung.
·      Paman seayah.
·      Anak paman kandung.
·      Anak paman seayah.
·      Suami.
·      Orang yang memerdekakan dengan hak wala’.
b.             Ahli waris golongan perempuan:
·      Anak.
·      Cucu.
·      Ibu.
·      Ibu dari ibu.
·      Ibu dari ayah.
·      Saudara kandung.
·      Saudara seayah.
·      Saudara seibu.
·      Istri.
·      Orang yang memerdekakan dengan hak wala’.
Jika ahli waris yang disebut di atas hanya seorang diri, maka mereka jelas berhak mendapatkan harta warisan. Namun, bila ia mewaris bersama dengan ahli waris yang lain diberlakukan ketentuan hijab yang prinsipnya hubungan yang lebih dekat dengan pewaris akan meng-hijab yang jauh hubungan kekerabatannya dengan pewaris.
Adapun rincian siapa meng-hijab secara penuh adalah sebagai berikut:
c.              Dari kelompok laki-laki:
·      Anak sebagai ahli waris tidak ada yang dapat meng-hijab atau menutupnya.
·      Cucu ditutup oleh anak.
·      Ayah tidak seorang pun yang dapat menutupnya.
·      Kakek hanya dapat ditutup oleh ayah.
·      Saudara kandung ditutup oleh anak, cucu dan ayah.
·      Saudara seayah ditutup oleh anak, cucu, ayah dan saudara kandung.
·      Saudara seibu ditutup oleh anak, cucu, ayah dan kakek.
·      Anak saudara kandung ditutup oleh saudara seayah dan oleh orang yang menutup saudara seayah.
·      Anak saudara seayah ditutup oleh anak saudara kandung dan oleh orang-orang yang menutup anak saudara seayah.
·      Paman kandung ditutup oleh anak saudara seayah dan orang-orang yang menutup anak saudara seayah.
·      Paman seayah ditutup oleh paman kandung dan oleh orang-orang yang menutup paman kandung.
·      Anak paman kandung ditutup oleh anak paman kandung dan oleh orang-orang yang menutup anak paman kandung.
·      Suami tidak ditutup oleh ahli waris mana pun.
·      Orang yang memerdekakan ditutup oleh ahli waris hubungan kerabat.
Semua ahli waris yang disebutkan di atas, kalau kebetulan ada semuanya dalam satu kasus kewarsian, maka yang berhak hanyalah anak laki-laki, ayah dan suami.
d.             Ahli waris golongan perempuan:
·      Anak perempuan tidak ada seseorang pun yang menutupnya.
·      Cucu perempuan ditutup oleh anak laki-laki dan oleh dua orang anak perempuan.
·      Ibu tidak tertutup oleh siapa pun.
·      Ibu dari ibu tertutup oleh ibu dan tidak tertutup oleh ayah.
·      Ibu dari ayah tertutup oleh ibu dan juga oleh ayah.
·      Saudara perempuan kandung tertutup oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dan ayah.
·      Saudara perempuan seayah tertutup oleh anak laki-laki.
·      Saudara perempuan seibu tertutup oleh anak laki-laki, anak perempuan, cucu, ayah dan kakek.
·      Istri tidak tertutup oleh siapa pun.
·      Perempuan yang memerdekakan tertutup oleh seluruh ahli waris kerabat.
Bila seluruh ahli waris perempuan ini kebetulan ada secara bersamaan, maka yang berhak hanyalah anak perempuan, cucu, perempuan, ibu, saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu dan istri. Seandainya seluruh 25 orang ahli waris serentak ada semuanya, maka yang berhak mewaris di antara mereka hanyalah anak laki-laki, anak perempuan, ibu, ayah, suami atau istri.
C. MACAM-MACAM AHLI WARIS DAN HAK MASING-MASING
Secara garis besar Hukum Kewarisan Islam menetapkan dua macam ahli waris, yaitu ahli waris yang bagiannya telah ditentukan secara pasti dan tertutup di dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi dan ahli waris yang bagiannya masih terbuka karena tidak ditentukan bagiannya secara pasti. Dalam bahasan ini akan dijelaskan dengan rinci berikut hak masing-masing:
1.             Ahli waris dengan bagian tertentu
Di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi disebutkan bagian-bagian tertentu dan disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu itu. Bagian tertentu itu dalam al-Qur’an yang disebut furudh adalah dalam bentuk angka pecahan yaitu ½, ¼, 1/8, 1/6, 1/3 dan 2/3. Para ahli waris yang mendapat menurut angka-angka tersebut dinamai ahli waris dzaul furudh. Ahli waris dzaul furudh itu adalah:
·         Anak perempuan. Kemungkinan bagian anak perempuan adalah sebagai berikut:
           ½  kalau ia sendiri saja (dan tidak bersama anak laki-laki).
           2/3 kalau anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama anak laki-laki.
Dasar bagian anak perempuan dalam dua kemungkinan tersebut adalah QS. al-Nisa’ (4): 11.
·         Cucu perempuan. Kemungkinan bagian cucu perempuan adalah:
           ½ kalau ia sendiri saja.
           2/3 kalau ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan cucu laki-laki, kemudian di antara mereka berbagi sama banyak.
Dasar hak kewarisan cucu perempuan dalam dua kemungkinan di atas adalah analaog atau qiyas kepada anak perempuan.
         1/6 kalau bersamanya ada anak perempuan seorang saja.
Dasar hak 1/6 ini adalah hadits Nabi.
·         Ibu. Bagian ibu ada tiga kemungkinan sebagai berikut:
           1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris atau bersama dua orang saudara atau lebih.
           1/3 bila ia tidak bersama dengan anak atau cucu, tetapi hanya bersama ayah.
           1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu, tetapi bersama dengan suami atau istri.
Dasar dari hak kewarsian ibu dalam nomor a) dan b) adalah QS. al-Nisa’ (4): 11, sedangkan nomor c) adalah ijtihad ulama sahabat.
·         Ayah. Sebagai ahli waris dzaul furudh kemungkinan bagian ayah adalah:
         1/6 kalau ia bersama dengan anak atau cucu laki-laki.
         1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan anak atau cucu perempuan.
Dasar dari hak kewarisan ayah dalam nomor a) adalah QS. al-Nisa’ (4): 11, sedangkan b) dan c) adalah gabungan ayat 11 al-Nisa dan hadits Nabi.
·         Kakek. Sebagai ahli waris dzaul furudh kemungkinan bagian kakek adalah sama dengan ayah, karena ia adalah pengganti ayah waktu ayah sudah tidak ada. Bagiannya adalah sebagai berikut:
         1/6 kalau bersamanya ada anak atau cucu laki-laki.
         1/6 bagian dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama anak atau cucu perempuan.
Dasar dari hak kakek dalam segala kemungkinan tersebut adalah analog dengan ayah di samping hadits Nabi.
·         Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah)
         Nenek mendapat 1/6, baik ia sendirian atau lebih.
Dasar dari hak nenek 1/6 ini adalah hadits Nabi.
·         Saudara perempuan kandung. Saudara perempuan kandung mendapat bagian dalam beberapa kemungkinan di bawah ini:
         ½ bila ia hanya seorang dan tidak ada bersamanya saudara laki-laki.
         2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersamanya saudara laki-laki kemudian di antara mereka berbagi sama banyak.
Dasar hak saudara dalam dua kemungkinan tersebut adalah QS. al-Nisa’: 176.
·         Saudara perempuan seayah. Kemungkinan furudh saudara perempuan seayah adalah sebagai berikut:
         ½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara seayah laki-laki.
         2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki seayah.
         1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung perempuan.
Dasar hak saudara perempuan seayah pada a) dan b) adalah QS. al-Nisa’ (4): 176 dan pada c) adalah hasil ijtihad ulama.
·         Saudara laki-laki seibu. Kemungkinan bagian saudara laki-laki seibu adalah:
           1/6 kalau ia hanya seorang.
           1/3 kalau ia lebih dari seorang dan di antaranya berbagi sama banyak.
Dasar hak kewarisan saudara seibu adalah QS. al-Nisa’ (4): 12.
·         Saudara perempuan seibu. Sebagaimana saudara laki-laki seibu, ia menerima dalam dua kemungkinan sebagai berikut:
         1/6 kalau ia hanya seorang diri.
         1/3 untuk dua orang atau lebih dan kemudian berbagi sama banyak.
Dasar bagian saudara seibu tersebut adalah QS. al-Nisa’ (4): 12.
·         Suami. Bagian suami ada dalam dua kemungkinan sebagai berikut:
         1/2  kalau tidak ada anak atau cucu.
         ¼ kalau ada bersamanya anak atau cucu.
Dasar bagian suami tersebut di atas adalah QS. al-Nisa’: 12.
·         Istri. Bagian istri ada dalam dua kemungkinan sebagai berikut:
           ¼ bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris.
           1/8 bila ia bersama dengan anak atau cucu dalam kewarisan.
Dasar hak kewarisan istri seperti tersebut di atas adalah QS. al-Nisa’: 12.
Penjelsan tersebut di atas adalah rincian ahli waris dengan melihat kepada bagian yang diterima masing-masing bagian. Selanjutnya dijelaskan pula rincian berdasarkan bagian atau furudh dan ahli waris yang berhak atas furudh tersebut sebagai berikut:
·         Furudh setengah (1/2). Yang berhak atas bagian setengah ini adalah:
           Anak perempuan bila ia sendirian.
           Cucu perempuan bila ia sendirian.
           Saudara perempuan kandung bila ia sendirian.
           Saudara perempuan seayah bila ia sendirian.
           Suami bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris.
·         Furudh seperempat (1/4). Yang berhak atas bagian seperempat ialah:
         Suami bila ia mewarisi bersama dengan anak atau cucu dari pewaris.
         Istri, bila tidak ada bersamanya anak dari pewaris.
·         Furudh seperdelapan (1/8). Yang berhak atas bagian seperdelapan ini ialah istri bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris.
·         Furudh dua pertiga (2/3). Yang berhak atas bagian dua pertiga ini ialah:
         Dua orang anak perempuan atau lebih, tidak bersama anak laki-laki.
         Dua orang cucu perempuan atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki.
         Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih, tanpa laki-laki.
         Dua orang saudara seayah perempuan atau lebih, tanpa laki-laki.
·           Furudh sepertiga (1/3). Yang berhak atas bagian sepertiga ini ialah:
           Ibu, bila bersamanya tidak ada anak atau cucu, atau saudara-saudara.
           Beberapa orang saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan.
·      Furudh seperenam (1/6). Yang berhak atas bagian seperenam ini ialah:
           Ayah, bila bersamanya ada anak atau cucu laki-laki.
           Ibu, bila bersamanya ada anak atau cucu atau saudara-saudara.
           Kakek, bila bersamanya ada anak atau cucu laki-laki.
           Nenek melalui ayah, atau melalui ibu, seorang atau lebih.
           Cucu perempuan, bila bersama dengan seorang anak perempuan.
           Saudara seayah perempuan, bila bersama dengan seorang saudara kandung perempuan.
           Seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan.
2.             Ahli waris dengan bagian yang tidak ditentukan
Dalam Hukum Kewarisan Islam, di samping terdapat ahli waris dengan bagian yang ditentukan atau dzaul furudh yang merupakan kelompok terbanyak, terdapat pula ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan secara furudh, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits Nabi. Mereka mendapatkan seluruh harta dalam kondisi tidak adanya ahli waris dzaul furudh atau sisa harta setelah dibagikan terlebih dahulu kepada dzaul furudh yang ada. Mereka mendapat bagian yang tidak ditentukan, terbuka dalam arti dapat banyak atau sedikit, atau tidak ada sama sekali.
Dasar hukum dari ahli waris dengan bagian terbuka ini adalah firman Allah dalam surah al-Nisa’ (4) ayat 11 dan 176. Dalam ayat 11 disebutkan adanya hak kewarisan anak laki-laki, namun berapa haknya secara pasti tidak dijelaskan. Bila ia bersama dengan anak perempuan, yang disebutkan hanyalah perbandingan perolehannya yaitu seorang laki-laki sebanyak hak dua orang anak perempuan. Dapat dipahami dari ketentuan tersebut bahwa bila anak laki-laki bersama dengan anak perempuan, maka mereka mendapatkan seluruh harta bila tidak ada ahli waris lain atau mereka akan mendapatkan seluruh harta yang tersisa bila ada ahli waris lain yang berhak, kemudian hasil yang mereka peroleh dibagi dengan bandingan 2:1. Hal demikian berlaku pula bila anak dari pewaris hanyalah anak laki-laki saja.
Dalam ayat ini juga disebutkan hak ibu sebesar 1/3 bila ahli warisnya hanya ibu dan ayah saja. Ayah disebutkan sebagai ahli waris, namun bagiannya tidak dijelaskan. Dengan disebutkannya bagian ibu yaitu 1/3, sedangkan yang menjadi ahli waris hanyalah ayah dan ibu saja, dapatlah dipahami bahwa hak ayah adalah sisa dari bagian yang telah diambil oleh ibu, yaitu 2/3.
Dalam ayat 176 disebutkan hak kewarisan saudara laki-laki dan saudara perempuan. Adapun saudara perempuan disebutkan furudhnya yaitu ½ bila sendirian 2/3 bila dua orang atau lebih, sedangkan saudara laki-laki sama sekali tidak dijelaskan bagiannya, kecuali hanya bandingannya dengan saudara perempuan yaitu dua banding satu.
Dengan penjelasan tersebut di atas dapat ditetapkan bahwa Hukum Kewarisan Islam mengenal ahli waris yang berhak atas seluruh harta bila sendirian atau sisa harta setelah diberikan lebih dahulu kepada ahli waris lain yang jelas bagiannya. Bagian yang diterimanya bersifat terbuka.
Adanya ketentuan ahli waris yang mendapat bagian seluruh harta atau sisa harta secara pembagian terbuka, yang pada umumnya adalah laki-laki, dikembangkan kepada ahli waris laki-laki yang lain yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an atau hadits Nabi. Anak laki-laki dikembangkan kepada cucu laki-laki, ayah dikembangkan kepada kakek atau kepada paman dan seterusnya anak paman, saudara dikembangkan kepada anak saudara, hingga komplitlah kerabat dalam garis laki-laki.
Kelompok kerabat garis laki-laki ini dalam penggunaan Bahasa Arab biasa disebut ashabah. Oleh karena yang berhak atas seluruh harta atau sisa harta itu menurut Ahlu Sunnah pada dasarnya adalah laki-laki, maka untuk selanjutnya kata ashabah itu digunakan untuk ahli waris yang berhak atas seluruh harta atau sisa harta setelah diberikan kepada ahli waris dzaul furudh.
Karena dalam bentuk kewarisan seperti ini tidak ada bagian yang tertentu selain dari bandingan bahwa laki-laki memperoleh bagian kedua kali perempuan dalam pembagian anak atau saudara, maka pembagian di sini adalah secara rata-rata.
Oleh karena kekerabatan itu beritingkat-tingkat dari segi keutamaannya, maka tidak mungkin dilaksanakan metode bagi rata bagi seluruh tingkat kekerabatan yang berbeda. Maka yang berhak atas sisa harta tidak mungkin terdiri dari dua tingkat yang berbeda. Oleh karena itu, ashabah yang berhak atas sisa harta itu hanya terdiri satu selevel saja. Kesimpulan itu menimbulkan pemikiran tentang keutamaan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hanya bedanya bahwa keutamaan dalam kedudukan sebagai ashabah tidak mesti menutup ahli waris yang keutamaannya berada di bawah, tetapi menggesernya dari kedudukannya sebagai ashabah. Dalam keadaan ini ia hanya berkedudukan sebagai ahli waris dzaul furudh. Umpamanya bila ayah bersama anak laki-laki dalam kelompok ahli waris, ia tetap berhak atas warisan, tetapi hanya sebagai ahli waris dzaul furudh sedangkan yang berhak atas sisa harta dalam keadaan ini adalah anak laki-laki. Seandainya  tidak bersama anak laki-laki, ayahlah yang menjadi ahli waris sisa harta.
*        Ulama golongan Ahlu Sunnah membagi ashabah itu kepada tiga macam yaitu ashabah bi nafsihi, ashabah bi ghairihi dan ashabah ma’a ghairihi.
a.    Ashabah bi Nafsihi
Ashabah bi Nafsihi adalah ahli waris yang berhak mendapat seluruh harta atau sisa harta dengan sendirinya, tanpa dukungan ahli waris yang lain. Ashabah bi nafsihi itu seluruhnya adalah laki-laki yang secara berurutan adalah anak, cucu (dari garis laki-laki), ayah, kakek, saudara kandung, saudara seayah, anak saudara kandung, anak saudara seayah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung dan anak paman seayah.
·      Anak laki-laki
Anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, berhak atas seluruh harta bila tidak ada ahli waris yang lain atau sisa harta setelah diberikan lebih dahulu hak ahli waris furudh yang berhak. Dengan adanya anak laki-laki sebagai ashabah, maka ahli waris lain yang dapat mewaris bersama anak laki-laki (sebagai dzaul furudh) yaitu ayah, ibu atau nenek, suami atau istri. Bila anak laki-laki terdiri dari beberapa orang, mereka berbagi sama banyak.
Contoh, ahli waris adalah seorang anak laki-laki, ayah, ibu dan suami. Bagiannya adalah sebagai berikut:
Ø  Ayah mendapat 1/6=2/12
Ø  Ibu mendapat 1/6=2/12
Ø  Suami mendapat 1/4=3/12
Þ Total: 7/12
Ø  Untuk anak laki-laki 12/12-7/12=5/12
Contoh, ahli waris terdiri dari dua orang anak laki-laki, ayah, ibu dan istri, bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
Ø Untuk ayah 1/6=4/24
Ø Untuk ibu 1/6=4/24
Ø Untuk istri 1/8=3/24
Þ Total: 11/24
Ø  Untuk 2 anak laki-laki 24/24-11/24=13/24
Ø  Untuk 1 anak laki-laki 1/2x13/24=13/48
·      Cucu laki-laki (melalui anak laki-laki)
Cucu laki-laki mewarisi sebagai ahli waris ashabah bila anak sudah meninggal, baik anak itu adalah ayahnya atau saudara dari ayahnya. Kewarisan cucu laki-laki sama dengan kewarisan anak laki-laki. Ia dapat mewaris bersama dengan ahli waris yang dapat mewaris bersama anak laki-laki dan menutup orang yang ditutup oleh anak laki-laki.
Contoh ahli waris adalah cucu laki-laki, ibu dan istri. Hak masing-masing adalah sebagai berikut:
Ø Untuk ibu 1/6=4/24
Ø Untuk istri 1/8=3/24
Þ Total: 7/24
Ø Untuk cucu 24/24-7/24=17/24
Contoh lain: 3 cucu laki-laki, ayah dan suami. Bagian masing-masing adalah:
Ø Untuk ayah 1/6=2/12
Ø Untuk suami 1/4=3/12
Þ Jumlah: 5/12
Ø Untuk cucu-cucu 12/12-5/12=7/12
Ø Untuk seorang cucu laki-laki 1/3x7/12=7/36
·           Ayah
Ayah berkedudukan sebagai ahli waris ashabah bila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Dengan kehadiran anak atau cucu laki-laki ayah hanya akan menerima sebagai dzaul furudh sebesar 1/6. Ahli waris yang dapat mewaris bersama ayah sebagai dzaul furudh adalah anak perempuan, cucu perempuan, ibu, suami atau istri.
Dengan berhaknya ayah sebagai ashabah, maka ada dua kemungkinan kedudukan ayah dalam kewarisan:
Pertama: sebagai dzaul furudh. Contohnya adalah sebagaimana diberikan terdahulu. Kedua: sebagai ashabah, bila dalam susunan ahli waris tidak ada anak atau cucu baik laki-laki atau perempuan. Umpamanya ahli waris adalah ayah dan istri. Bagian masing-masing adalah:
Ø   Untuk istri ¼ karena tidak ada anak.
Ø   Sisanya sebanyak ¾ adalah untuk ayah sebagai ashabah.
Ketiga: mula-mula ayah ditempatkan sebagai dzaul furudh yang menerima 1/6, kemudian kalau ada sisanya maka sisa itu adalah untuk ayah sebagai ashabah. Hal ini berlaku bila bila bersama ayah ada anak atau cucu perempuan. Dalam hal ini ayah tidak langsung ditempatkan sebagai ashabah karena jika sejak awal sudah menjadi ashabah, mungkin ia menerima lebih kecil atau tidak ada sama sekali.
Contoh ahli waris dalam kasus ini adalah 2 anak perempua, ayah, ibu dan suami. Bagian masing-masing adalah:
Ø  Untuk 2 anak perempuan 2/3=8/12
Ø  Untuk suami ¼=3/12
Ø  Untuk ibu 1/6=2/12
Ø  Untuk ayah 1/6=2/12
Kalau ayah ditempatkan sebagai ashabah secara langsung, ia tidak akan dapat apa-apa. Dalam kedudukannya sebagai dzaul furudh ia akan mendapat 1/6, kemudian kekurangan bagian akan diselesaikan secara ‘aul.
·         Kakek
Kakek berkedudukan sebagai ahli waris ashabah bila dalam susunan ahli waris tidak ada anak atau cucu laki-laki dan tidak ada pula ayah. Pada umumnya kewarisan kakek sama dengan ayah, karena hak kewarisan kakek merupakan perluasan dari pengertian ayah. Oleh karena itu, kedudukan kakek adalah sebagai pengganti ayah bila ayah sudah meninggal lebih dahulu, baik sebagai ahli waris furudh, atau ashabah. Ia akan menutup orang-orang yang ditutup oleh ayah dan dapat mewaris dengan orang-orang yang dapat mewaris bersama ayah.
Dalam keadaan tertentu kakek tidak berkedudukan sebagai ayah, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:
Ø  Kakek tidak menutup hak kewarisan saudara, sedangkan ayah menutup kedudukan saudara.
Ø  Kakek tidak dapat mengalihkan hak ibu dari sepertiga harta kepada sepertiga sisa harta.
Ø  Kakek tidak dapat menutup hak nenek (ibu dari ayah) karena keduanya sama berhak menerima warisan.
Umpanyanya ahli waris adalah ibu, suami dan kakek, masing-masing adalah:
Ø  Untuk ibu 1/3=2/6 (karena tidak ada anak)
Ø  Untuk suami ½=3/5 (karena tidak ada anak
Þ Jumlah: 5/6
Ø  Untuk kakek adalah sisanya yaitu 1/6
Contoh lain ahli waris adalah anak perempuan, suami dan ibu. Hak masing-masing adalah:
Ø  Untuk suami ¼=3/12
Ø  Untuk ibu 1/6=2/12
Ø  Anak perempuan ½=6/12
Þ Jumlah: 11/12
Ø  Kakek mendapat 1/6 (sebagai furudh), karena ashabah lebih kecil
·           Saudara kandung laki-laki
Saudara kandung laki-laki menjadi ahli waris ashabah bila ia tidak mewarisi bersama anak atau cucu laki-laki dan tidak juga ayah. Saudara dapat mewaris bersama kakek.
Ahli waris yang mungkin menerima warisan bersama saudara adalah ibu atau nenek, suami atau istri, anak atau cucu perempuan, saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, begitu pula saudara kandung perempuan yang menjadi ashabah bersama saudara laki-laki kandung.
Bila saudara kandung laki-laki sendirian, ia berhak atas semua harta dan bila ia bersama dengan ahli waris lain ia memperoleh sisa harta sesudah dibagikan lebih dahulu hak dzaul furudh yang ada. Kalau saudara ada beberapa orang atau bersama dengan kakek mereka berbagi sama banyak.
Dalam contoh ahli waris adalah seorang saudara kandung laki-laki, ibu, anak perempuan dan istri. Bagian masing-masing adalah:
Ø  Untuk ibu 1/6=4/24
Ø  Untuk istri ¼=6/24
Ø  Untuk anak perempuan ½=12/24
Þ Jumlah: 22/24
Ø  Untuk saudara laki-laki kandung adalah sisanya yaitu 2/24
Contoh lain ahli waris adalah 3 saudara kandung laki-laki, suami dan ibu. Bagian masing-masing adalah:
Ø  Untuk ibu 1/6=2/12
Ø  Untuk suami ½=6/12
Þ Jumlah: 8/12
Ø  Untuk 3 saudara sisanya yaitu 12/12-8/12=4/12=1/3
Ø  Untuk 1 saudara adalah 1/3x1/3=1/9
·         Saudara laki-laki seayah
Saudara laki-laki seayah berkedudukan sebagai ashabah, dengan syarat tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, saudara kandung laki-laki. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan dan saudara kandung perempuan dan saudara seayah perempuan yang bersama menjadi ashabah bi ghairihi dengan saudara seayah laki-laki.
Pada umumnya hak kewarisan saudara seayah laki-laki sama dengan kedudukan saudara kandung laki-laki, karena ia menempati kedudukan saudara kandung laki-laki, kecuali dalam beberapa hal sebagai berikut:
Ø   Saudara kandung laki-laki dapat mengajak saudara kandung perempuan menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi, sedangkan saudara seayah laki-laki tidak dapat berbuat demikian.
Ø   Saudara kandung laki-laki dapat berserikat dengan saudara seibu dalam kasus musyarakah, sedangkan saudara seayah laki-laki tidak dapat.
Dalam contoh ahli waris adalah ibu, saudara kandung perempuan, suami dan saudara seibu. Bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
§  Untuk ibu 1/3
§  Untuk saudara kandung perempuan ½
§  Untuk suami ½
§  Untuk saudara laki-laki adalah sisanya yang kebetulan tidak ada
Dalam contoh lain ahli waris adalah 2 saudara seayah laki-laki, ibu dan istri. Hak masing-masing adalah:
§  Untuk ibu 1/3=4/12 (karena adanya beberapa orang saudara)
§  Untuk istri ¼=3/12 (karena tidak adanya anak
Þ Jumlah: 7/12
§  Untuk 2 saudara adalah sisanya yaitu 12/12-7/12=5/12
§  Untuk 1 saudara adalah 1/2x5/12=5/24
·         Anak saudara kandung laki-laki
Anak saudara kandung laki-laki menjadi ahli waris ashabah bila tidak ada anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara kandung laki-laki dan saudara seayah laki-laki. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu perempuan, saudara perempuan kandung atau seayah, ibu atau nenek, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan. Kewarisan anak saudara kandung laki-laki adalah sebagaimana kewarisan saudara kandung laki-laki dalam segala bentuknya.
Dalam contoh ahli waris adalah anak perempuan, istri dan anak saudara kandung laki-laki. Bagian masing-masing adalah:
§  Untuk anak perempuan ½=4/8
§  Untuk istri 1/8=1/8 (bersama anak
Þ Jumlah: 5/8
§  Untuk anak saudara laki-laki adalah sisanya yaitu 3/8

·         Anak saudara seayah laki-laki
Anak saudara seayah laki-laki hanya dapat menjadi ahli waris ashabah bila ia tidak mewarisi bersamanya anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek , saudara laki-laki kandung atau seayah dan anak saudara laki-laki kandung. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, sauadara perempuan kandung atau seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan.
Dalam contoh ahli waris adalah anak perempuan, cucu perempuan, ibu dan suami. Bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
§  Untuk anak perempuan ½=6/12
§  Untuk cucu perempuan 1/6=2/12
§  Untuk ibu 1/6=2/12 (bersama anak)
§  Untuk suami ¼=3/12 (bersama anak)
Þ Jumlah: 13/12
§  Untuk anak saudara tidak ada karena harta tidak tersisa
·         Paman kandung
Paman kandung ialah saudara kandung dari ayah. Paman kandung menjadi ahli waris ashabah bila saat mewarisi tidak ada anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah, anak laki-laki dari saudara kandung atau seayah. Ia dapat bersama-sama mewaris dengan anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau seayah, saudara seibu laki-laki atau perempuan, suami atau istri.
Bila ahli waris hanyalah paman sendirian, maka ia mengambil semua harta dan bila ia bersama dengan ahli waris lain yang berhak ia mengambil sisa harta sesudah dibagikan hak ahli waris furudh. Kalau ia ada beberapa orang mereka berbagi sama banyak.
Dalam contoh ahli waris adalah 2 orang anak perempuan, suami, ibu dan paman, maka hak masing-masing adalah sebagai berikut:
§  Untuk 2 anak perempuan 2/3=8/12
§  Untuk suami ¼=3/12
§  Untuk ibu 1/6=2/12
Þ Jumlah: 13/12
§  Untuk paman tidak ada karena tidak ada sisa harta
Dalam contoh ahli waris adalah istri, ibu dan 2 orang paman. Bagian masing-masing adalah:
§  Untuk istri ¼=3/12
§  sUntuk ibu 1/3=4/12
Þ Jumlah: 7/12
§  Untuk 2 orang paman adalah sisanya yaitu 5/12
§  Untuk seorang paman adalah 1/2x5/12=5/24
·         Paman seayah
Paman seayah ialah saudara seayah dari ayah. Ia berhak atas warisan secara ashabah bila sudah tidak ada di antara ahli waris itu anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah, anak laki-laki saudara laki-laki kandung atau seayah dan paman kandung. Paman seayah dapat mewaris bersama-sama dengan anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, suami atau istri, saudara perempuan kandung atau seayah, saudara seibu laki-laki atau perempuan.
Bila ia sendirian ia menerima seluruh harta dan bila ia bersama dengan ahli waris lain secara furudh, maka ia mengambil sisa harta sesudah dibagikan kepada ahli waris furudh. Bila ia beberapa orang, mereka berbagi sama banyak.
Dalam contoh ahli waris adalah 2 orang paman seayah, istri dan ibu, maka bagian masing-masing adalah:
§  Untuk suami ½=3/6 (tidak ada anak)
§  Untuk ibu 1/3=2/6 (tidaka ada anak)
Þ Jumlah: 5/6
§   Untuk 2 paman adalah sisanya yaitu 1/6
§   Untuk 1 paman 1/2x1/6=1/12
Dalam contoh lain ahli waris adalah suami, anak perempuan, cucu perempuan, ibu dan paman seayah. Bagian masing-masing adlah sebagai berikut:
§   Untuk suami ¼=3/12
§   Untuk ibu 1/6=2/12
§   Untuk anak perempuan ½=6/12
§   Untuk cucu perempuan 1/6=2/12
Þ Jumlah: 13/12
§   Untuk paman seayah tidak ada karena tidak ada sisa harta
·         Anak paman kandung
Anak paman kandung menjadi ahli waris secara ashabah bila sudah tidak ada anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah, anak laki-laki saudara kandung atau seayah, paman kandung atau seayah. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau seayah, saudara seibu laki-laki atau perempuan, suami atau istri.
Bila ia sendiri dapat mengambil semua harta, sedangkan bila ia bersama ahli waris lainnya yang berhak ia mengambil sisa harta sesudah dibagikan kepada ahli waris. Bila ia ada beberapa orang mereka berbagi sama banyak.
Dalam contoh ahli waris adalah 2 anak perempuan, suami, ibu dan anak paman kandung. Bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
§   Untuk 2 anak perempuan 2/3=8/12
§   Untuk suami ¼=3/12 (bersama anak)
§   Utnuk ibu 1/6=2/12 (bersama anak)
Þ Jumlah: 13/12
§   Untuk anak paman kandung tidak ada karena tidak ada sisa harta
Dalam contoh ahli waris adalah anak paman dan nenek, hak masing-masing adalah:
§   Untuk nenek 1/6
§   Sisa harta sebanyak 5/6 adalah untuk anak paman kandung
·         Anak paman seayah
Anak paman seayah mewaris secara ashabah bila tidak ada anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah, anak saudara laki-laki kandung atau seayah, paman kandung atau seayah dan anak paman kandung pewaris bersamanya. Ia dapat mewarisi bersama anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau seayah, saudara seibu laki-laki atau perempuan, suami atau istri. Bila ia seorang diri maka ia dapat mengambil semua harta warisan tersebut dan sedangkan ia bersama ahli waris lainnya ia mengambil sisa harta dan bila ia ada beberapa orang mereka berbagi sama banyak.
Dalam contoh ahli waris adalah istri dan anak paman seayah. Bagian masing-masing adalah:
§  Untuk istri ¼ karena tidak ada anak
§  Untuk anak paman seayah adalah sisanya yaitu ¾
Dalam contoh ahli waris adalah anak perempuan, cucu perempuan, ibu, suami dan 2 anak paman seayah. Hak masing-masing adalah sebagai berikut:
§   Untuk saudara perempuan kandung ½=3/6
§   Untuk saudara perempuan seayah 1/6=1/6
§   Untuk ibu 1/6=1/6
§   Untuk suami ½=3/6
Þ Jumlah: 8/6
§   Untuk anak paman seayah tidak ada karena sisa harta tidak ada
b.    Ashabah bi Ghairihi (Ashabah Disebabkan Oleh Orang Lain)
Yang dimaksud dengan ashabah bi ghairihi di sini adalah seseorang yang sebenarnya bukan ashabah karena ia adalah perempuan, namun karena ada bersama saudara laki-lakinya maka ia menjadi ashabah. Mereka sebagai ashabah berhak atas semua harta bila hanya mereka yang menjadi ahli waris atau berhak atas sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris furudh yang berhak. Kemudian di antara mereka berbagi dengan bandingan laki-laki mendapat sebanyak dua bagian perempuan.
Ahli waris perempuan baru dapat diajak menjadi ashabah oleh saudara laki-lakinya bila ia sendiri adalah ahli waris yang berhak, kalau tidak berhak maka keberadaan saudaranya itu tidak ada artinya. Umpamanya anak saudara yang perempuan bukan ahli waris sedangkan anak saudara yang laki-laki atau saudara dari anak perempuan itu adalah ashabah. Dalam hal ini anak saudara yang laki-laki itu tidak berdaya untuk menolong saudaranya yang perempuan itu. Yang berhak menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi itu adalah:
·           Anak perempuan bila bersama dengan anak laki-laki atau anak laki-laki dari anak laki-laki. Bila ahli waris hanya mereka berdua, keduanya mengambil semua harta dan bila ada ahli waris yang lain mereka mendapat sisa harta. Umpamanya ahli waris adalah anak laki-laki, anak perempuan, ibu, suami dan ayah. Bagian masing-masing adalah:
§   Untuk ibu 1/6=2/12
§   Untuk ayah 1/6=2/12
§   Untuk suami ¼=3/12
Þ Jumlah: 7/12
§   Sisanya yaitu 12/12-7/12=5/12 untuk anak laki-laki dan perempuan
§   Untuk anak laki-laki 2/3x5/12=10/36
§   Untuk anak perempuan  1/3x5/12=5/36
Contoh lain, ahli waris adalah istri, 3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Bagian masing-masing adalah:
§   Untuk istri 1/8
§   Sisa harta adalah 8/8-1/8=7/8
§   Untuk seorang anak laki-laki 2/5x7/8=14/40
§   Untuk seorang anak perempuan 1/5x7/8=7/40
·           Cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki atau anak laki-laki dari cucu laki-laki. Cucu perempuan itu dapat menjadi ashabah oleh laki-laki yang sederajat dengannya atau yang berada satu tingkat di bawahnya. Kalau ahli waris hanya mereka saja, maka mereka berhak atas seluruh harta, sedangkan kalau bersama mereka ada ahli waris furudh, mereka mengambil sisa harta sesudah pembagian dzaul furudh.
Dalam contoh ahli waris adalah ibu, kakek, suami, cucu perempuan dan dua orang cucu laki-laki. Bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
§    Untuk ibu 1/6=2/12
§    Untuk kakek 1/6=2/12
§    Untuk suami ¼=3/12
Þ    Jumlah: 7/12
§    Sisa harta sebanyak 5/12 adalah untuk 2 cucu laki-laki dan 1 cucu perempuan. Untuk seorang cucu laki-laki 2/5x5/12=2/12
§    Untuk seorang cucu perempuan 1/5x5/12=1/12
Dalam contoh lain ahli waris adalah suami dan seorang cucu laki-laki dan seorang cucu perempuan. Hak masing-masing adalah sebagai berikut:
§    Untuk suami ¼
§    Sisa harta sebanyak ¾ untuk cucu laki-laki dan perempuan
§    Untuk cucu laki-laki 2/3x3/4=2/4=1/2
§    Untuk cucu perempuan 1/3x3/4=1/4
·           Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung
Saudara perempuan kandung menjadi ashabah karena keberadaan saudara laki-laki kandung (saudara laki-lakinya) saat mewarisi harta. Bila ahli waris hanya mereka saja, keduanya mengambil semua harta dan bila ada ahli waris lain bersamanya, mereka mengambil sisa harta yang tinggal.
Dalam contoh ahi waris adalah anak perempuan, istri dan ibu, saudara laki-laki dan perempuan kandung, maka hak masing-masing adalah sebagai berikut:
§  Untuk anak perempuan ½=12/24
§  Untuk suami ¼=6/24
§  Untuk ibu 1/6=4/24
Þ Jumlah: 22/24
§   Sisa harta sebanyak 2/24 atau 1/12 adalah untuk saudara-saudara kandung laki-laki dan perempuan
§   Untuk saudara laki-laki 2/3x1/12=2/36
§   Untuk saudara perempuan 1/3x1/12=1/36
Contoh lain umpamanya: 2 anak perempuan, ibu, suami, saudara kandung laki-laki dan perempuan. Hak masing-masing adalah sebagai berikut:
§  Untuk 2 anak perempuan 2/3=8/12
§  Untuk ibu 1/6=2/12
§  Untuk suami ¼=3/12
§  Þ Jumlah: 13/12
§  Untuk saudara-saudara tidak ada karena tidak ada sisa harta
·           Saudara seayah perempuan bersama saudara seayah laki-laki
Saudara seayah perempuan menjadi ahli waris ashabah bila diajak menjadi ashabah oleh saudaranya yang laki-laki. Ia mengambil seluruh harta bila ahli waris yang berhak hanyalah mereka berdua. Bila ada ahli waris yang lain yang mewaris secara dzaul furudh maka mereka mengambil sisa harta yang tertinggal.
Dalam contoh ahli waris adalah 2 saudara laki-laki seayah, 2 saudara perempuan seayah, nenek, maka hak masing-masing adalah:
§  Untuk nenek adalah 1/6
§  Sisa harta sebanyak 5/6 adlah untuk saudara-saudara
§  Untuk seorang saudara laki-laki seayah 2/6x5/6=10/36
§  Untuk seorang saudara perempuan seayah 1/6x5/6=5/36
Contoh lain ahli warisnya adalah: suami, ibu, saudara kandung perempuan, saudara seayah laki-laki dan saudara kandung perempuan. Bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
§  Untuk suami ½=6/12
§   Untuk ibu 1/6=2/12
§   Untuk saudara kandung permpuan ½=6/12
Þ Jumlah: 14/12
§   Untuk saudara seayah tidak ada karena tidak ada sisa harta
c.            Ashabah ma’a Ghairihi
Ashabah ma’a ghairihi berarti ashabah karena bersama dengan orang lain. Orang yang menjadi ashabah ma’a ghairihi itu sebenarnya bukan ashabah, tetapi karena kebetulan bersamanya ada ahli waris yang juga bukan ashabah, ia dinyatakan sebagai ashabah sedangkan orang yang menyebabkannya menjadi ashabah itu tetap bukan ashabah.
Ashabah ma’a ghairihi khusus berlaku untuk saudara perempuan kandung atau seayah pada saat bersamanya ada anak perempuan. Anak perempuan tersebut menjadi ahli waris furudh sedangkan saudara perempuan menjadi ashabah. Kasus khusus ini timbul pada waktu seseorang minta fatwa kepada Ibnu Mas’ud tentang ahli waris yang terdiri dari anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan. Ibnu Mas’ud memutuskan berdasarkan apa yang dilihatnya dari Nabi yang menyelesaikan kasus yang sama, bahwa untuk anak perempuan adalah 1/2, untuk cucu perempuan adalah 1/6 dan sisanya untuk saudara perempuan. Hukum yang ditetapkan oleh Ibnu Mas’ud inilah yang dilakukan oleh jumhur ulama.
3.       ahli waris dzaul arham
Ahli waris dzaul arham secara etimologi diartikan ahli waris dalam hubungan kerabat. Namun pengertian hubungan kerabat itu begitu luas dan tidak semuanya tertampung dalam kelompok orang yang berhak menerima warisan sebagaimana dirinci sebelumnya. Sebelum ini sudah dirinci ahli waris yang berhak menerima sebagai dzaul furudh dan ahli waris ashabah, dengan cara pembagian mula-mula diberikan kepada dzaul furudh kemudian harta yang selebihnya diberikan kepada ahli waris ashabah. Seandainya masih ada harta yang tinggal, maka kelebihan harta itu diberikan kepada kerabat lain yang belum mendapat. Kerabat lain yang belum mendapat itulah yang dinamai ahli waris dzaul arham. Semua ahli fikih menyebut ahli waris dzaul arham dengan ahli waris dalam hubungan kerabat yang bukan dzaul furudh dan bukan pula ashabah.
Cucu melalui anak laki-laki menurut kewarisan patrilinial dapat menempati tempat anak. Dalam hubungan ini kita lihat agak sama dengan fikiran kewarisan dalam sistem kewarisan bilateral, sungguhpun dengan cara yang agak berlainan.
Cucu melalui anak perempuan menurut kewarisan patrilinial tidak menempati tempat anak tetapi diberi kedudukan sendiri dengan sebutan dzaul arham atau keluarga yang mempunyai hubungan kekeluargaan juga dengan si pewaris tetapi telah agak jauh.
Ahli waris yang berhak di antara kerabat itu adalah sebagaimana yang dijelaskan secara langsung dalam al-Qur’an . di luar yang disebutkan dalam al-Qur’an itu yang menjadi ahli waris merujuk kepada hadits Nabi yang intinya adalah laki-laki yang dihubungkan kepada pewaris melalui laki-laki. Kerabat di luar dalil tersebut termasuk ahli waris dzaul arham. Dengan begitu secara dasar dapat ditetapkan ahli waris dzaul arham itu, yaitu: perempuan atau laki-laki yang dalam hubungannya kepada pewaris diperantarai oleh perempuan, sebagaimana kelihatan dalam uraian di bawah ini.
·         Ayah dari ibu, setiap kakek dan nenek yang bukan dzaul furudh, termasuk ayah dari ayahnya ibu, ibu dari ayahnya ibu.
·         Anak-anak dari anak perempuan, langsung atau melalui perantara, baik laki-laki maupun perempuan.
·         Anak-anak perempuan dari saudara, baik kandung , seayah atau seibu.
·         Anak-anak dari saudara perempuan kandung atau seayah atau seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
·         Paman seibu atau laki-laki yang seibu dengan ayah.
·         Anak-anak perempuan dari paman, baik kandung atau seayah atau seibu.
·         Saudara-saudara perempuan dari ayah, baik kandung, seayah atau seibu.
·         Saudara-saudara laki-laki dari ibu, baik kandung, seayah atau seibu.
·         Saudara-saudara perempuan dari ibu, baik kandung, seayah atau seibu.
Dan orang-orang ayng berhubungan dengan sepuluh kelompok tersebut di atas, baik secara langsung atau melalui perantara.
Kalau dikelompokkan seluruh ahli waris dzaul arham tersebut di atas berdasarkan garis hubungan kerabat, maka uraiannya adalah sebagai berikut:
·         Garis ke bawah yaitu: anak dari anak perempuan, baik laki-laki atau perempuan dan seterusnya ke bawah. Anak dari cucu perempuan dan seterusnya ke bawah.
·         Garis ke atas yaitu: ayahnya ibu, ayah dari ayahnya ibu dan ibu dari ayah ibu, dan seterusnya ke atas yang dihubungkan kepada pewaris melalui perempuan.
·         Garis ke samping pertama: anak perempuan saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu, anak-anak laki-laki atau perempuan dari saudara perempuan kandung, seayah atau seibu, anak-anak laki-laki atau perempuan dari saudara seibu beserta keturunannya garis ke bawah.
·         Garis ke samping kedua: saudara perempuan dari ayah, kandung atau seayah serta anak-anaknya, anak-anak perempuan dari paman kandung atau seayah serta anak-anaknya, saudara seibu dari ayah, baik laki-laki atau perempuan beserta anak-anaknya saudara ibu, laki-laki atau perempuan, kandung atau seayah atau seibu, beserta anak keturunannya.
















KESIMPULAN
Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris yang meninggal.
Secara garis besar Hukum Kewarisan Islam menetapkan dua macam ahli waris, yaitu ahli waris yang bagiannya telah ditentukan secara pasti dan tertutup di dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi dan ahli waris yang bagiannya masih terbuka karena tidak ditentukan bagiannya secara pasti.
Adanya ketentuan ahli waris yang mendapat bagian seluruh harta atau sisa harta secara pembagian terbuka, yang pada umumnya adalah laki-laki, dikembangkan kepada ahli waris laki-laki yang lain yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an atau hadits Nabi. Anak laki-laki dikembangkan kepada cucu laki-laki, ayah dikembangkan kepada kakek atau kepada paman dan seterusnya anak paman, saudara dikembangkan kepada anak saudara, hingga komplitlah kerabat dalam garis laki-laki.
Ulama golongan Ahlu Sunnah membagi ashabah itu kepada tiga macam yaitu ashabah bi nafsihi, ashabah bi ghairihi dan ashabah ma’a ghairihi.







DAFTAR PUSTAKA
·         Muchsin, Misri. Fikih Sunnah. (Jakarta: Kalam Mulia, 1991).
·         Parman, Ali. Kewarisan dalam Al-Qur’an. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995).
·         Lubis, Suhrawardi dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
·         Yahya, Taufik dan Idris Djaktar. Komplikasi Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Pusaka Jaya, 1995).
·         Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Bandung: Bulan Bintang, 1991).
·         Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral. (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).


0 komentar: